Oleh ; Hascaryo Pramudibyanto
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka
cakrawala7.com – Dua tahun lagi pesta demokrasi. Banyak upaya dan strategi disiapkan partai pengusung calon presiden. Bahkan, yang belum dicalonkan pun sudah siap menerkam suara di lumbung yang selama ini dianggap sepi peminat atau bocor ke tempat yang tidak semestinya bisa dijadikan potensi. Buat capres yang mau mencalonkan diri dari area Jawa Tengah, agaknya perlu memikirkan data Badan Pusat Statistik (BPS) ini.
Data valid ini merupakan rentang bukti sejak tahun 2016 hingga 2021 tentang jumlah kekerasan berdasarkan jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan berusia 18 tahun ke atas. Alasan dipilihnya data ini, yang utama adalah mereka yang terangkum dalam data ini, tentu saat ini sudah berumur paling tidak 24 tahun. Pijakan usia produktif yang punya hak suara di pemilu nanti.
Alasan lainnya adalah kaum perempuan sebagai salah satu pengarah radar suara politis dari lingkungan keluarga. Meskipun pemilih bebas menentukan pilihannya, namun di usia ini, para perempuan muda pun banyak yang punya saudara yang usianya juga potensial sebagai pemilih. Di samping itu, jika suaminya belum punya sikap politis, bisa didekati oleh pasangannya dengan berbagai dalih trik menarik.
Dari mana dalih trik itu mereka peroleh, yang paling kuat posisinya adalah para capres atau kader di daerah yang bisa melakukan personal approach dengan pola komunikasi interpersonal. Untuk memudahkan teknis ini, mari kita bongkar satu per satu aspek yang memuat kekerasan terhadap perempuan tersebut. Mulai dari kekerasan berjenis kekerasan fisik. Sejak tahun 2016 hingga ujung 2021 ini, hanya terjadi penurunan sedikit sekali.
Bahkan di tahun 2019 sempat naik jauh dari 569 kasus menuju 604 kasus. Itu hanya terjadi di Jawa Tengah, belum skala nasional. Jenis kekerasan fisik yang diterima oleh kaum perempuan tentu merambah pada aspek kondisi fisik. Bentuknya bisa berupa penamparan, penarikan rambut, penyusupan atau pendorongan tubuh pada bidang yang kualitasnya keras seperti tembok, pemukulan dengan atau tanpa alat bantu, dan sebagainya.
Kekerasan jenis ini biasanya dilakukan oleh pelaku, lebih dari satu kali. Kalau pun hanya sekali dan menyulut emosi perempuan, biasanya lebih menuju pada rasa sakit tetap atau sedang dengan buntut cacat sedang hingga tetap.
Aspek kekerasan terhadap perempuan yang berikutnya adalah aspek psikis.
Aspek psikis bisa disebabkan oleh adanya perlakuan fisik secara kasar, ucapan yang menyinggung perasaan baik tentang kondisi fisik perempuan, penghinaan terhadap keluarga perempuan, status sosial perempuan, maupun tata cara, tata busana, hingga tata budaya yang tidak bisa diterima oleh kaum laki-laki. Khusus untuk aspek ini, pelakunya bisa saja sesama perempuan yang mayoritas disebabkan oleh kecemburuan sosial.
Angkanya juga cukup fantastis, yaitu tertinggi di 461 pada tahun 2016 dan terendah di angka 2020 sebanyak 297 kasus. Namun di tahun 2021, jumlahnya naik lagi menjadi 372.
Berikutnya adalah kekerasan seksual sebanyak 70 kasus di tahun 2017. Dan angka ini meroket naik 100% di tahun 2021 menjadi 145 kasus. Penyebab utama munculnya kekerasan jenis ini karena adanya kesempatan terbuka yang dimiliki oleh lawan jenis.
Kondisi malam hari dan situasi sendirian menjadi daya tarik pelaku. Pelaku menganggap bahwa perempuan sendirian di malam hari adalah calon korban paling lemah barikadenya sehingga mereka merasa lebih leluasa melakukan kekerasan seksual.
Arti sendirian pun, bukan hanya dalam konteks sedang bepergian. Di rumah dan sedang sendirian, juga jadi daya pikat. Apalagi jika pelakunya sangat hafal dengan situasi rumah dan kebiasaan di korban. Jadilah ia sasaran empuk, tinggal menunggu waktu saja.
Selanjutnya adalah aspek penelantaran. Aspek jenis ini sangat tinggi jumlahnya di tahun 2016, yaitu sebanyak 208 kasus. Tetapi bisa menurun di tahun 2021 dengan angka 135 kasus. Penyebab utamanya adalah faktor ekonomi dan perselingkuhan. Kondisi keuangan yang tidak stabil menjadi pemicu konflik akibat tidak diperolehnya nafkah, padahal pengeluaran sudah tetap dan jelas nilainya.
Belum lagi jika ada kebutuhan mendadak semacam kebutuhan sosial di lingkungan, yang mau tidak mau harus dipenuhi oleh kepala keluarga.
Di sisi ini, tidak semua kepala keluarga atau suami bersedia menyediakan anggarannya. Ada yang berasumsi bahwa jumlah gaji plus penghasilan yang sudah diberikan pada istri include dengan biaya sosial. Ini yang sering menjadi titik konflik dengan tuduhan bahwa si perempuan tidak mampu mengelola keuangan secara cerdas.
Adapun faktor perselingkuhan, sudah bisa ditebak kejadiannya, walaupun tidak selalu pihak laki-laki jadi penyebabnya. Ada juga kaum perempuan yang sengaja ‘menyediakan gangguan’ untuk pasangan selingkuhnya.
Akibatnya, ketika diendus oleh pasangan laki-lakinya, muncullah keputusan untuk meninggalkan perempuan tanpa ada pesangon apapun. Dalam konteks ini, kejadian penelantaran menjadi pilihan aduan para perempuan.
Aspek trafficking juga menjadi penyebab terjadinya pelecehan perempuan. Peristiwa trafficking sudah mulai marak ketika tuntutan tenaga kerja di dalam maupun luar negeri meningkat tajam. Lagi-lagi, yang jadi tumpuan kesalahan adalah aspek ekonomi.
Oleh karena tingginya desakan kebutuhan rumah tangga, akhirnya terjebaklah kaum perempuan ini dalam kancah jual beli wanita.
Dijual untuk kebutuhan prostitusi maupun tenaga kerja ilegal di dalam dan luar negeri. Desakan untuk mencari pelaku trafficking belum sepenuhnya berhasil sebab dua pihak ini juga saling membutuhkan. Pelaku butuh tenaga kerja dengan imbalan menggiurkan, sedangkan korban juga tergiur mendapatkan penghasilan cepat demi rumah tangga.
Angka kejiadiannya masih rendah, sekitar 1 hingga 38 kejadian. Terjadi satu kali di Jawa Tengah di tahun 2019, dan 38 kali setahun sebelumnya. Ada titik penting yang bisa dipelajari di sini, yaitu penurunan drastis sehingga perlu dikaji strateginya.
Berikutnya adalah aspek eksploitasi. Aspek ini juga relatif rendah, bahkan di tahun 2020, Jawa Tengah sempat mendapatkan angka nol kasus. Tertinggi di tahun 2016 dengan 10 kasus. Aspek terakhir adalah aspek lain, yang jumlahnya merata di rentang 26 hingga 47 kasus. Yang terendah terjadi di tahun 2020 dengan 26 kasus, dan tahun 47 kasus setahun berikutnya.
Dari data ini, capres bisa menjadikan bahan jualan yang bisa menaikkan suara di lumbung sepi perempuan.
Yakinkan pada para pemilih perempuan bahwa jika Anda terpilih akan ada perlindungan lebih riil bagi perempuan, termasuk anak dan upaya pendampingannya. Ini tidaklah sulit sebab semua ulasan sanksi bagi para pelaku sudah sangat terbuka, dan untuk menghindari munculnya korban lain, capres juga bisa memberikan penyuluhan bentuk kekerasan lain yang ditujukan pada perempuan pemilih.
Komentar