Ditulis oleh :
Muhamad Fajar Pramono, Dosen Unida Gontor Ponorogo pada 1 Oktober 2023.
cakrawala7.com – Berdasark’an hasil riset penulis tentang model keterlibatan tokoh agama dan masyarakat di Jawa Timur dalam Pilkada berdasarkan Sub-kultur (2008). Pertama, sifatnya menyebar. Misalnya dalam kasus kultur arek (termasuk Aremania). Tokoh tidak hanya berpusat pada tokoh agama, tapi juga tokoh pendidikan, tokoh olahraga. Apalagi pada wilayah itu tumbuh subur lembaga-lembaga pendidikan ternama, seperti, Unair, ITS, UB, UM, UMM, UNISMA dan lain-lain. Juga dinamika olahraga bola terutama baik di Malang dan Surabaya juga sangat dinamis. Tidak semata-mata bola, tapi juga memunculkan komunitas dan tokoh-tokoh bola.
Implikasinya dalam politik (Pilkada) keberadaan tokoh-tokoh tersebut menyebar di berbagai kekuatan politik. Juga hal yang sama baik di kultur Madura, pesisir, dan tapal kuda, termasuk di Sub-kultur Mataraman. Yang khas di Sub-kultur Mataraman tidak sebagaimana di Sub-kultur Madura, dan tapal kuda dimana keberadaan tokoh agama tetap dominan, tetapi pengaruhnya semakin berkurang dan berbanding lurus dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan literasi masyakat di Sub-kultur tersebut.
Adapun di Sub-kultur Mataraman peranan tokoh agama tergantikan tokoh botoh dan mampu membangun dan menggunakan mesin politik Pilkada yang efektif, terutama dalam konteks di Ponorogo. Semenjak Pilkada langsung (dipilih langsung oleh rakyat, bukan DPRD) dalam konteks Ponorogo konstalasi politik (Pilkada) sangat ditentukan oleh kelompok botoh yang mempunyai mesin politik, bukan tokoh agama atau figur calon Bupati semata.
Dalam kasus Bupati Muhadi (2005) dimana kurang dikenal oleh masyarakat Ponorogo waktu itu dan berhasil mengalahkan kompetitornya sangat dikenal baik ketokohan dan kapasitasnya (Bapak Supajar) di Ponorogo. Hal itu tidak lepas faktor mesin politiknya. Juga hal yang sama dalam kasus Pak Amin (2010). Posisi sebagai wakil dengan mudahnya mengalahkan Bupati Muhadi (incumbent) dengan basis dan jaringan kekuasaan yang dimiliki. Hal ini tidak lepas dari mesin politiknya, yang merupakan hasil kolaborasi antara botoh dan paguyuban kepala desa.
Begitu pula keberhasilan Kang Giri yang sebelumnya kalah (2016) dan kemudian mampu merebut kekuasaan Bupati Ipong (incumbent) (2021) dengan basis dan kekuatan kekuasaan yang dibangunnya. Itu tidak lepas dari mesin politik tersebut.
Sekalipun demikian bahwa mesin politik tradisional ini tidak selalu efektif, ketika menghadapi mesin politik Pilkada modern (merupakan kolaborasi kekuatan organisasi rapi dan dana) berhasil menghantarkan Pak Ipong sebagai Bupati (2016), juga berhasil mengalahkan Bupati Amin (incumbent), dan Kang Giri pada waktu itu juga ikut kompetisi.
Namun pada perkembangannya, mesin politik Pilkada yang “tradisional” itu berhasil menunjukkan tajinya kembali dalam melumpuhkan mesin politik “modern”, yang menghantarkan Kang Giri sebagai Bupati (2021), dan berhasil merebut kekuasaan Bupati Ipong (incumbent).
Hanya saja yang menarik mesin politik tradisional tersebut, tanda-tandanya untuk Pilkada 2024 tidak berpihak atau tidak mengawal lagi Bupati Kang Giri. Hal ini sebagai pertanda apakah Bupati Kang Giri sebagaimana Bupati-bupati sebelumnya tidak mampu mempertahankan kekuasaannya pada periode ke-2. (Baru Bupati Markum (1994-2004), dan Bupati Sumadi (1974-1984) yang bisa bertahan 2 periode).
Maka untuk melawan mitos Pilkada tanpa bekal mesin politik tradisional tersebut tidaklah mudah. Tetapi bukan berarti tidak bisa dilawan sebagaimana yang dilakukan oleh Bupati Ipong (2016). Perlu kerja keras dan gebrakan non-konvensional.
Komentar