oleh

Menduga Arah Loyalitas Simpatisan

Hascaryo Pramudibyanto, S.Sos., M.Pd.

cakrawala7.com – Pesta negeri kita masih 2 tahun lagi. Tapi kelompok pendukung ini dan itu sudah muncul segar di permukaan. Mereka biasa disebut sebagai simpatisan. Sabtu 16 Juli 2022.

Pola kerja simpatisan, menurut Simpatisan atau pendukung – khususnya partai politik atau seseorang yang ditokohkan, punya karakteristik tertentu. Mereka biasanya tergabung dalam salah satu komunitas simpatisan akibat ajakan teman. Jarang yang karena kesadaran sendiri. Perlahan ngobrol, kumpul dengan teman, dan selanjutnya diajak datang ke sebuah acara simpatisan.
Eksistensi simpatisan belum tentu menusuk ke daging kelompok, partai, atau tokoh yang didukung. Batasannya masih pada tataran kagum, hormat, merasa satu visi, dan mungkin saja karena partai atau si tokoh tadi punya daya tarik besar.

Mereka ada di situ untuk mendukung dan menaruh simpati akibat adanya kesamaan identitas tadi. Bahkan, ada juga karena alasan yang bersifat subjektif, yang lebih kasarnya bisa diartikan begini: suka karena memang orang atau partainya oke. Entah oke-nya karena apa, si simpatisan ini tak mampu menjelaskan. Pokoknya suka saja.
Kadang ia pun rela menempelkan gambar tokoh atau bendera partai politik di rumahnya, seakan ia pun meyakinkan pada tetangga dan tamunya bahwa orang serumah itu, semuanya suka dan setia pada gambar ini. Merasa dipaksa suka atau tidak, yang penting gambar ini jangan dilepas – kalau masih ingin tinggal di rumah ini. Begitu kira-kira. Dan begitu pula pandangan Abraham Lincoln tentang sikap simpatisan dalam kegiatan komunikasi politik.

Penting untuk diketahui bersama – utamanya oleh para simpatisan – bahwa yang mereka lakukan tidak ada salah dan benarnya, sepanjang merunut pada undang-undang yang berlaku. Saya ulangi, mengacu pada aturan, prinsip kerja, dan undang-undang yang diberlakukan di wilayah itu. Adapun alasan bahwa tindak kerja para simpatisan tidak ada yang salah maupun benar, memang sudah diprediksi sebelumnya oleh Abraham Lincoln.
Ia menegaskan bahwa yang dilakukan oleh simpatisan hanya sekadar berusaha setia pada komunitasnya.

Mereka juga berupaya memperjuangkan aturan dan regulasi walaupun kadang ada unsur subjektivitas. Kadang yang mereka lakukan dianggap paling benar sebab semua anggota komunitas simpatisan juga melakukannya. Artinya, yang mayoritas di situ melakukan itu, berarti tindakan itu adalah benar.
Padahal bukan itu ketentuannya.

Perlu ada sikap dewasa dalam memilah dan menentukan sikap individu walaupun ia dalam pusaran komunitas simpatisan. Bukan lantas yang dilakukan oleh sebagian besar orang pasti dan selalu benar. Hal inilah yang perlu diantisipasi dan ditahan laju emosi para simpatisan di satu dua tahun ke depan.

Masa kampanye merupakan saat unjuk gigi dan realitas egosentris para simpatisan, meskipun mereka sudah dibekali wejangan agar menjaga diri dan sikap ketika menyuarakan kesetiaan dan dukungannya pada partai atau seseorang. Tapi yang sepertinya tidak gampang diwujudkan. Susah. Apalagi jika sudah mulai mengerahkan pendukung dari luar wilayah, yang tidak dikenal secara personal, dan wujud dukungannya lebih apresiatif dengan berbagai alasan.
Padahal, mungkin saja ada ‘tekanan’ dari atas agar pola kampanye esok diseyogiakan lebih meriah, atraktif, dan penuh warna.

Tiga harapan tadi semata-mata diniatkan untuk menunjukkan betapa besar pendukung partai ini dan layak untuk dijadikan partai dominan. Yang bahaya adalah jika ada simpatisan yang menelan mentah-mentah ‘tekanan’ tadi hingga lupa, bahwa ia hanya kelompok kecil yang diminta memeriahkan suasana jalan raya dengan sarana yang mereka miliki.

Gampangnya begini, untuk kampanye keliling kota saja misalnya. Mereka tentu harus membawa sepeda motor sendiri, yang untuk menarik perhatian masyarakat, harus dibawa dulu ke bengkel untuk melepas knalpot. Ini sudah biaya. Belum lagi atribut unik lain yang diharapkan bisa menyedot perhatian publik. Ini juga biaya. Padahal, jujur saja ya, ketika masyarakat melihat polah mereka dengan atribut yang sudah dibiayai begitu besar, masyarakat atau audiens cuma akan tersenyum sejenak.

Audiens tak akan mengingat orang yang menggunakan atribut tadi, dari partai mana dan sedang mendukung siapa. Rugi dan capek, bukan?
Anda yang simpatisan mungkin akan berkilah, ya biar saja. Toh saya senang, bisa unjuk gigi di jalan raya dan ditepuktangani. Itu? Itu yang dicari? Serius nih. Apakah Anda tidak merasa rugi jika harus membeli BBM dan air minum di saat dahaga? Beneran ini, jujur lho yaa.. Saya tak akan membahas komitmen tak tertulis bahwa Anda sudah memperoleh transport dari mana, sebab hal ini akan mendapat reaksi beragam. Silakan saja, saya tutup mata dan telinga.

Hanya yang saya heran, kok Anda mau disuruh begitu. Kok Anda nurut ketika harus keliling kota dan meletakkan anak balita Anda di bagian depan sepeda motor Anda. Apa nggak khawatir jika anak Anda mengantuk kelelahan, dan tiba-tiba roboh ke samping motor Anda? Konteks ini berlaku untuk semua simpatisan – baik yang sudah menyandang status sebagai ayah maupun ibu. Apakah tidak sebaiknya Anda di rumah saja, membereskan pekerjaan rumah yang tak akan pernah habis. Atau, Anda sudah terlanjur punya komitmen kepada komunitas yang Anda ikuti? Atau, Anda sudah menerima transport titipan dari teman, yang jika tidak mengikuti aktivitas kampanye, Anda khawatir akan disingkirkan secara sosial ?

Jadi, berpikirlah bijak sebelum menceburkan diri sebagai simpatisan, dan ketika akan berkampanye. Cobalah direnungkan barang lima menit. Kita-kira apa ya untungnya kalau saya ikut itu. Berapa ya biaya yang saya siapkan untuk jeng-jeng kampanye beberapa kali itu. Berapa lembar kaos ya yang harus saya beli jika saya adalah simpatisan bebas. Bisa ikut bendera ini di hari Senin, dan Selasanya saya ganti bendera ‘mendukung’ bendera lainnya.

Mohon jangan menumpuk emosi jika membaca ini sebab kenyataannya memang ada yang demikian. Ada yang demikian lho ya, jadi bukan semuanya demikian. Beda itu.
Untuk itu, sebelum berangkat dan memutuskan join di situ, pikir baik-baik. Untungnya apa, ruginya di mana. Tapi bebas kok jika yang dipilih adalah tetap join buat meramaikan pesta demokrasi. Namanya saja pesta, jadi ya harus meriah. Harus?

Ditulis oleh ; Hascaryo Pramudibyanto, S. Sos., M.Pd. Dosen Jurusan Ilmu Komonikasi Universitas Terbuka, Tinggal di Semarang.

Komentar

Leave a Reply

News Feed