Oleh,
Dr. H. Sulton, M.Si
Dosen Universitas Muhammadiyah Ponorogo dan Pengamat Politik
Bicara demokrasi itu ada dua sudut pandang. Pertama, demokrasi secara formal-prosedural melalui pungutan suara seperti yang kita alami selama ini. Asalkan semua aturan dan prosedur yang ada sudah diikuti, ditaati, dan dilaksanakan maka pilkada itu dapat dikatakan berlangsung demokratis.
Inilah sikap kebanyakan kita selama ini. Kelemahannya, namanya saja formalitas, maka kedaulatan rakyat sebagai jiwa/ruhnya demokrasi menjadi mati karena direduksi oleh cara berpikir formalitas-prosedural tersebut. Karena kelemahan itulah, maka muncul sudut pandang kedua yang dikenal dengan konsep demokrasi subtantif.
Dari sudut pandang ini, kedaulatan rakyat diletakkan sebagai jiwa dari demokrasi yang teraktualisasi nyata dalam hajatan Pilkada. Semua aturan, kelembagaan, sumberdaya, praktek, dan pengawasan yang berkait dengan Pilkada dibuat, dipastikan, dan dilaksanakan sedemikian rupa untuk menjamin terlaksananya kedaulatan rakyat dengan sesungguhnya.
Rakyat dan kehidupan politik didorong dan diedukasi menjadi semakin dewasa, mandiri, & independen dalam berpolitik yg diorientasikan untuk kemajuan daerah serta kesejahteraan rakyat bukan praktek demokrasi formal yang dikendalikan oleh oligarchi kekuasaan dengan praktik politik uangnya.
Bukan hanya masyarakat Ponorogo tetapi hampir seluruh masyarakat Indonesia, sudah teracuni oleh cara berpikir dan praktek money politik dalam setiap hajatan yang membutuhkan dukungan politik mereka, bahkan praktek ini sudah masuk dalam proses pemilihan pimpinan ormas keagamaan dan lembaga sejenis.
Ini adalah buah dari pendidikan politik secara terselubung dan massif yang dimaklumkan dan dikondisikan bahkan kadang dicontohkan dan dilakukan oleh komponen supra struktur politik (eksekutif, legislatif, yudikatif) maupun infra struktur politik (parpol, organisasi penekan, organisasi kepentingan, media massa, dan tokoh-tokoh) di seluruh tingkatan maka jadilah seperti sekarang ini.
Idealnya ada pada kemauan politik (political will) penguasa (eksekutif, leguslatif, dan yudikatif) untuk memberantasnya. Tatapi rasanya sulit karena seringkali kekuasaan itu diperoleh dari proses money politik.
Secerca harapan mungkin bisa kita wujudkan melalui “GERAKAN ANTI MONEY POLITIK SECARA MASSIF” yang dilakukan oleh segenap komponen masyarakat terutama lembaga-lembaga infra struktur politik seperti organisasi penekan, organisasi kepentingan, media massa, dan tokoh-tokoh masyarakat melalui aksi nyata (sosialisasi, diskusi, dialog, dll) atau melalui media cetak mainstream maupun jagad maya.
Siap-tidak siap sebenarnya menjadi kewajiban dan tanggungjawab moral kita semua untuk menyelamatkan seluruh tatanan kehidupan yang ujungnya selalu digerakkan oleh mesin politik.
Dalam kaitanya dengan Pilkada serentak tahun ini, secara umum posisi petahana diuntungkan karena memiliki banyak media untuk sosialisasi diri (kampanye terselubung), apalagi dengan adanya pandemi virus covid-19. Kesempatan petahana untuk hadir secara intens di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai program/aksi nyata yang dibutuhkan dalam rangka penangan pandemi beberapa bulan terakhir ini adalah bentuk sosialisasi diri yang efektif, sementara calon pendatang baru tidak punya cukup waktu dan kesempatan untuk itu.
Rasanya peluang pendatang baru relatif kecil, kerena peluang pemenang pilkada masih ditentukan oleh akumulasi kekuatan modalitas ekonomi (uang), modalitas politik (rekomendasi parpol dan dukungan mesin politiknya), dan modalitas sosial (dukungan masyarakat) para calon. Jika ukurannya ketiga modalitas itu maka belum kelihatan calon pendatang yang mampu menandingi incumbent.
( Ponorogo,16 Juni 2020 )
Komentar