oleh

Membedah Mitos Larungan Sesaji Telaga Ngebel

Cakrawala7.com– Kabupaten Ponorogo mempunyai tradisi budaya yang menjadi perhatian pariwisata lokal maupun mancanegara. Selain kesenian Reyog, masyarakat setempat tetap melestarikan upacara ritual larung sesaji yang biasa dilakukan di telaga Ngebel.

Kegiatan Larungan Sesaji Telaga Ngebel

Telaga Ngebel terletak di kaki gunung Wilis berada di Kecamatan Ngebel, Kebupaten Ponorogo. Selain memiliki keindahan alam yang masih asli, telaga yang berada di ketinggia 734 diatas permukaan laut ini menyimpan banyak cerita.

Biasanya, larung sesaji ini dilakukan memasuki tanggal 1 Muharram atau bulan Suro. Berdasarkan kepercayaan, ritual ini sebagai tanda rasa syurkur masyarakat setempat atas berkah dan dijauhkan dari bancana.

Kegiatan ini diwujudkan dengan simbol membuat tumpeng (buceng) besar yang diarak. Total ada 5 buceng. Di antaranya buceng agung, buceng sedekah bumi dan buceng purak. Buceng agung berukuran besar setinggi 1 meter. Terdapat simbol gambar naga baru klinting yang menjadi legenda di Telaga Ngebel.

Sebelum dipurak warga, ada prosesi yang dilakukan oleh para pejabat Ponorogo. Di antaranya dengan menggelar doa bersama berharap ada keberkahan dari kegiatan yang digelar.

Arak-arakan dilakukan mulai dari para penari pembawa buceng. Sampai di dermaga, para penari Reog dan penari gambyong menampilkan keahliannya. Selanjutnya, sesaji diangkut menggunakan sampan diiringi perahu kecil lain berisi warga setempat dan para sesepuh.

Bagi masyarakat setempat, larung sesaji merupakan bentuk kreasi budaya dan sebagai sarana memanjatkan doa. Namun sebagian kalangan menganggap ritual tersebut sebatas tradisi yang dibungkus dengan mitos kepercayaan. Meskipun harus dipertahankan sebagai budaya kearifan lokal.

Menurut Budayawan Hartono Dwijo Abdinagoro yang juga tokoh masyarakat setempat, tradisi larung sesaji berawal dari inisiatif pemerintah kecamatan Ngebel karena tiap desa menggelar acara Suroan bersama-sama.

“Kira-kira tahun 1993 waktu itu ada kesepakatan acara Suroan dilakukan jadi satu di telaga Ngebel. Intinya sukuran untuk keselamatan dan berkah kepada sang pencipta,” kata Hartono saat ditemui di rumahnya.

Hartono menjelaskan, kegiatan itu akhirnya berkembang menjadi tradisi tahunan dan dikemas lebih bagus karena mendapat dukungan dari pemerintah. Selain sebagai kegiatan rutin, ritual ini dapat menjadi daya tari wisatawan yang ingin menyaksikan budaya lokal Ponorogo yang tetap lestari.

Budayawan KRAT Hartono Djiwo Abdinegoro.

“Sekarang acaranya lebih bagus. Dulu tumpengnya diarak keliling telaga tapi sekarang sudah ada kendaraan. Alhamdulillah kegiatan ini bisa lebih bagus karena mendapat subsidi dari pemerintah. Sebelumnya dilaksanakan dari dana swadaya, kalau gak salah urunan Rp 500 rupiah setiap warga,” ungkap Hartono.

Bahkan, kegiatan larung sesaji terakhir tahun 2019 dilakukan lebih meriah. Sebab, ada pertunjukan parade speedboat keliling Telaga Ngebel dan flypass pesawat tempur dan heli super puma oleh Anggota TNI Lanud Iswahjudi (ar)

Komentar

Leave a Reply

News Feed