cakrawala7.com – Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko secara tegas membantah isu terkait perlindungan satwa dalam memproduksi dadak merak Reog Ponorogo. Hal ini sebagai upaya untuk mengajukan Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) kepada UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). Jum’at 1 September 2023.
Bupati yang memliki darah seni ini menjelaskan berbagai bahan baku untuk membuat dadak merak dan topeng besar (Barongan) Reog Ponorogo.
Rumor itu mulai dari penyembelihan harimau yang diambil kulitnya untuk pembuatan topeng besar (Barongan) kemudian dijadikan sebagai kepala Reog hingga pencabutan bulu merak yang digunakan untuk dadak merak. Berbagai informasi simpang siur tersebut secara tegas di bantah Sugiri Sancoko.
Sugiri Sancoko menjelaskan secara runtut bahwa pembuatan Reog Ponorogo seperti sekarang ini tidak menggunakan kulit harimau. Sudah lama para seniman yang membuat Barongan Reog sudah berinovasi dengan mengunakan bahan pengganti lain seperti kulit sapi dan kambing. Dengan menggunakan kedua bahan tersebut, para seniman dapat melukis diatas kulit sapi dan kambing sesuai dengan corak seperti kulit harimau sehingga bisa lebih garang dan sesuai dengan selera para seniman pengrajin.
“Dengan menggunakan alat dan melukis diatas kulit sapi atau kambing, para seniman dapat berkreasi. Bahkan mereka bisa menentukan motif atau corak menyerupai kulit harimau yang asli sehingga bisa lebih garang. Harimau jika diambil kulitnya, selain dilarang dan sudah jelas dilindungi undang-undang juga keberadaannya sekarang langka. Coba hitung berapa ratus jumlah Reog yang sekarang ada. Jika Reog menggunakan kulit harimau asli, maka berapa banyak bahan yang harus kita butuhkan dan itu mustahil terjadi,” tegasnya.
Sementara itu, untuk pembuatan dadak merak, Bupati Sugiri juga membantah bahwa bahan tersebut di dapat dengan cara mencabut langsung dari burung merak yang masih hidup. Seperti yang diketahui, burung merak sama halnya dengan hewan ayam yang masuk dalam spesies unggas. Dimana dalam waktu tertentu, bulu-bulu merak tersebut akan rontok dengan sendirinya saat musim kawin tiba.
“Saat musim kawin tiba bulu merak tersebut akan rontok dengan sendirinya. Nah, pada saat rontok para peternak mengumpulkan bulu-bulu tersebut untuk dibikin dadak merak oleh para seniman pengrajin Reog. Di Ponorogo sudah ada penangkar dan peternak burung merak. Para peternak tersebut sebelum menangkarkan burung merak tentunya sudah mendapatkan izin dari BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Provinsi dan menurut mereka menangkarkan burung merak relatif lebih mudah. Sama halnya dengan beternak ayam,” terangnya.
Dua hal tersebut sudah dituangkan dalam dossier dan disusun secara runtut oleh pemerintah daerah kemudian dikirimkan ke KemendikbudRistek dan akan diserahkan kepada pihak UNESCO yang kemudian diajukan menjadi Warisan Budaya Tak Benda.
“Pemerintah daerah sudah menjawab isu miring tersebut melalui dossier yang merupakan syarat utama kita mengajukan ke UNESCO,” pungkasnya. (adv/ay)
Komentar