oleh

Akibat Hukum Putusan Mahkamah Agung RI no 44 P/HUM/2019 Batal Demi Hukum atau Dapat Dibatalkan

Suparno M Jamin

Oleh : Suparno M Jamin

Berdasarkan putusan MA yg diupload beberapa hari yang lalu, peluang JOKOWI-AMIN untuk diganti memang terbuka lebar. Sekarang bola ada di tangan DPR/MPR-RI. Putusan MA tersebut mau diapakan, sepenuhnya menjadi domein mereka. Belum nampak tanda-tanda akan ada langkah-langkah politik ketatanegaraan sebagai konskwensi dari putusan MA No. 44 P/ HUM /2019, termasuk dari pemohon uji materiel atas PKPU tersebut. Semuanya masih saling menunggu perkembangan politik yang ada.

Polemik ini diawali dengan pelanggaran terhadap UU PEMILU. Kemudian berlanjut dengan dugaan manipulasi data pemilih, SITUNG KPU, perbedaan jumlah voters antar pilpres dan pileg, dst. Sehingga ada beberapa pihak yang membawanya ke ranah hukum atau peradilan. Sebagian pihak ada yang ke Mahkamah Agung dan yang lain ke Mahkamah Konstitusi. MK mengadili sengketa PILPRES nya. Sedangkan MA menguji PKPU No. 5/2019, pasal 3 ayat 7 yg dijadikan dasar hukum penetapan calon terpilih.

Masing-masing, Mahkamah Agung dan MK, punya domein sendiri. Tapi jangan lupa, bahwa dari dua obyek yg disengketakan tersebut memiliki hubungan causalitas, atau memiliki hubungan hukum sebab akibat. Sebab ada dugaan bahwa PKPU telah melanggar undang-undang No. 7 tahun 2017, tentang PEMILU, maka diperlukan uji materiel di MA, sedangkan sengketa pemilunya disidangkan di MK, yang konskwensi hukumnya berbeda, tapi satu mata rantai yang runtut dari ujung ke hulu. Dan permasalahan ini sangat menarik untuk dijadikan bahan kajian atas adanya putusan MA No. 44 P/HUM/2019 di atas.

Menanggapi putusan MA tersebut Prof. Yusril, mengatakan yang pada intinya bahwa putusan MA tersebut tidak mempengaruhi keabsahan Jokowi-Amin, dengan alasan putusan MK sudah final dan mengikat. Putusan MA bersifat prospective progressive. Lebih lanjut Prof Yusril mengatakan, kalau penetapan calon terpilih belum memenuhi persyaratan pasal 6 A UUD 1945 dan UU NO. 7 Tahun 2017, tentang Pemilihan Umum, kemudian pilpres harus diulang, kapan selesainya ?. Demikian intisari pendapat Prof. Yusril.

Pendapat Prof. Yusril, tersebut ” kelihatannya ” masuk akal, tetapi saya tidak sependapat, karena obyek gugatan yang diputuskan oleh MA dan MK berbeda, tetapi memiliki hubungan causalitas. Mahkamah Agung melakukan uji materiel terhadap PKPU No. 5 tahun 2019, pasal 3 ayat 7, yang dijadikan dasar hukum penetapan calon terpilih. Sedangkan Mahkamah Konstitusi mengadili masalah sengketa pilpres, yang memiliki hubungan causalitas dengan uji materiel di MA.

Kemudian pasal 3 ayat 7 PKPU yang dijadikan pijakan KPU untuk penetapan calon terpilih, oleh MA dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yg lebih tinggi serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Bagaimana akibat hukum atas penetapan calon terpilih dengan adanya putusan MA tersebut? Apakah ada pelanggaran etik dan hukum atas penetapan calon terpilih yang dilakukan oleh KPU ketika dasar hukum penetapannya masih sedang diuji oleh Mahkamah Agung, KPU mendahului membuat penetapan calon terpilih, pada hal dalam sidang di MA tersebut KPU sebagai TERMOHON.

Demikian pula, tentang kemungkinan adanya pemilu ulang, KPU tidak boleh menghindar, karena itu perintah undang-undang. Wajib dijalankan oleh KPU sesuai dengan sumpah jabatannya.

Jikalau setelah diulang ternyata belum ada yang memenuhi syarat, berarti calonnya belum mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Atau mungkin ada calon yang lebih baik dan kredibel, tetapi terhalang oleh sistem politik yg serba transaksional. Hal ini yang perlu dicarikan jalan keluar yang konstitusional, bukan jalan pintas.

Untuk itu kedepan perlu dibenahi dan dikaji ulang secara matang dan cermat. Sehingga PEMILU benar-benar merupakan organ reproduksi lahirnya calon pemimpin nasional yang cerdas, visioner, jujur, adil dan berintegritas.

Persoalan putusan MA baru diupload 9 bulan kemudian. Dan memang terasa sangat lamban, tetapi itu tidak masalah. Karena persoalan upload hanya terkait persoalan teknis, bukan persoalan substantif. Meskipun lebih cepat lebih baik.

Selanjutnya oleh karena pasal 3 ayat 7 PKPU No. 5 th 2019, yang dijadikan dasar penetapan calon terpilih dinyatakan beretentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Maka berdasarkan putusan MA No. 44 P/HUM/2019, KPU dapat mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya, atau menjalankan pasal 6 A UUD 1945 dan UU NO. 7 tahun 2019 tentang PEMILU.

Dan sebagai konskwensi hukum dari amar putusan MA tersebut, maka Penetapan Calon Terpilih oleh KPU dengan berdasarkan PKPU No. 5 tahun 2019, pasal 3 ayat 7, dapat berakibat “tidak sah “atau ” batal ” . Setidak-tidaknya “dapat dibatalkan”.

Dalam menanggapi putusan MA tersebut saya sependapat dengan Refly Harun, karena telah melanggar UU dan UUD 1945, maka ketetapan KPU atas Pilpres 2019 adalah batal, gugur dan tidak memiliki LEGITIMASI. Dengan alasan hukum bahwa PKPU No. 5 tahun 2019, pasal 3 ayat 7, yang dijadikan dasar hukum penetapan calon terpilih, oleh MA dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak mempunyai kekuatan hukum yg mengikat.

Makna batal demi hukum di sini adalah ” batal dengan sendirinya”, termasuk dengan segala akibat hukum yg ditimbulkannya. Tidak perlu ada tindakan hukum.

Sedangkan kalau ” dapat dibatalkan “, berarti penetapan tersebut baru batal setelah ada ” tindakan hukum pembatalan ” , misalnya bisa melalui SIDANG ISTIMEWA MPR-RI, atau melalui mekanisme yang lain, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tapi semuanya terpulang kepara para wakil rakyat yang duduk di DPR-RI / MPR-RI, dan para Penyelenggara Negara yang lain. Apakah di negeri ini hukum masih ada dan berlaku? Kalau masih ada dan berlaku, pertanyaan berikutnya ” apakah hukum tersebut masih dihormati, ditaati, dan dijalankan secara adil?

Itulah beberapa pertanyaan yg harus dijawab dengan jujur. Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan melalui putusannya No. 45 P/HUM/2019, yang amarnya sebagaimana yang telah kita maklumi bersama. Sekarang tinggal terpulang kepada Para Penyenggara Negara, khususnya MPR-RI, mau SIDANG ISTIMEWA atau melalui cara yang lain yang lebih konstitusional dan berkeadilan. Rakyat kini sedang menunggu……..

INDONESIA RAYA, 9 JULI 2020
SUPARNO M JAMIN, Pengamat Politik, Hukum & Keadilan ( ITB-Per )

Komentar

Leave a Reply

News Feed